Rabu, 04 April 2012

Pengalaman Ketika Mendampingi KAT Dayak Punan Lati

Di akhir tahun 2006 saat saya bergabung dengan PT. Berau Coal dan bertugas sebagai pendamping (Community Development Officer katanya), paling berkesan adalah pengalaman ketika melkukan pendampingan komunitas Dayak Punan di sekitar sungai Lati dan bersinggungan langsung dengan areal tambang PT. Berau Coal. Saya mencoba share catatan pengalaman sejak 2006 hingga awal 2011 ketika mendampingi komunitas ini.

KAT KM10 Lati merupakan areal enclave seluas 20 Ha yang masuk dalam wilayah administratif kampung Sambakungan kecamatan Gunung Tabur kabupaten Berau Propinsi Kalimantan Timur. Sebelah utara KAT KM10 merupakan areal konsesi PT Tanjung Redeb Hutani, di sebelah timur merupakan kampung Melati Jaya, sebelah barat areal tambang PT Berau Coal dalam wilayah kampung Maluang, sedangkan sebelah selatan merupakan areal tambang PT. Berau Coal dalam wilayah kampung Sambakungan.

Disebut KAT KM10 Lati karena letaknya di tepi sungai Lati dan berjarak ±10 km melalui jalan eks logging perusahaan kayu dari jalan aspal pemukiman kampung Sambakungan. Air dari aliran sungai Lati tersebut digunakan oleh warga sebaai air minum, untuk mandi dan mencuci.

Pemukiman KAT KM10 dapat ditempuh dengan jalur darat dan jalur air (sungai). Jarak darat dapat ditempuh dengan mobil atau sepeda motor sekitar 30-45 menit. Waktu tempuh dengan menggunakan perau mesin ketinting lebih lama, yakni sekitar 1,5-2 jam dari kampung Sambakungan.

Waktu tempuh semua kendaraan tergantung dari tingkat curah hujan. Semakin tinggi curah hujan, waktu tempuh kendaraan darat akan semakin lama, sedangkan bila menggunakan perahu jika curah hujan tinggi, sungai dalam keadaan aliran air besar sehingga tidak dapat dilalui. Kontur berbukit dan tanah berlumpur membuat tidak semua kendaraan bisa melalui jalan tersebut. Jalanan sejauh ± 10 km terdiri atas jalan tanah. Walaupun hujan tidak turun, di beberapa titik terdapat air yang mengenangi jalan sehingga jalanan sulit untuk dilalui karena berlumpur. Kondisi hujan akan semakin memperbanyak genangan-genangan lumpur di jalan.

 

1. Daerah Asal & Riwayat Pengembaraan

Warga Dayak Punan yang mengembara ke kabupaten Berau, awalnya berasal dan bermukim ditepian hutan kampung Binai kabupaten Bulungan.  Karena sumber penghidupan di lokasi tersebut (madu, buah hutan, gaharu, & binatang buruan) dirasa semakin berkurang, disamping lahan pertanian yang ditanami  padi, keladi, pisang dll sudah dirasa tidak subur lagi, maka mereka secara sporadis mengembara bersama anggota keluarganya  ke daerah lain di kabupaten Bulungan, salah satunya di kampung Sajau.

Beberapa lama di kampung Sajau  pada akhirnya  mereka  menemui juga masalah   yang sama, yaitu makin menipisnya sumber penghidupan dari hutan serta berkurangnya kesuburan lahan pertanian yang dikelolanya. Kembali mereka mengembara dari hutan kehutan (dengan berjalan kaki berhari-hari) meninggalkan wilayah Sajau. Padahal, di kampung  ini Pemda Bulungan telah mengarahkan mereka untuk bermukim menetap dengan cara memberi bantuan stimulan berupa bahan bangunan (seng, kayu dan paku) yang bertujuan agar mereka dapat membuat perumahan yang layak huni.

Pada sekitar tahun 1970 an mereka melakukan pengembaraaan ke wilayah hutan yang lain   dan beberapa kelompok menuju ke hutan-hutan  wilayah selatan hingga sampai di kabupaten Berau. Di Kabupaten Berau ini mereka menyebar di beberapa wilayah, antara lain di hutan-hutan tepian  sungai Birang, sungai Sambarata, Sungai lati,  sungai Bengawan, dan lain-lain.

Saat mengembara di kabupaten Berau,  mereka masih menerapkan pola kehidupan sebelumnya, yaitu mencari nafkah dari hasil hutan serta ladang berpindah. Namun, karena pada saat itu di kabupaten Berau sedang marak pengusahaan kayu log (banjir kap), beberapa diantara  warga mereka turut menjadi tenaga kasar para pengusaha kayu log (pengusaha lokal Berau). Disini kontak dengan warga lain terjalin, utamanya dengan warga Berau.  Terjalinnya kontak & komuniasi dengan warga Berau ini membuat mereka sedikit banyak tahu bahasa Berau, kebiasaan belanja ke  Tanjung Redeb, barter & menjual  perolehan hasil hutan dengan masyarakat Berau, dll.

Walaupun telah terjadi kontak & komunikasi dengan warga Berau tetapi  mereka masih tetap bertahan tinggal berkelompok dengan komunitasnya dihutan,  bersifat  inklusiv, serta hidup dengan pola & kebiasaan lama.   Kebiasaan mereka masih belum banyak berubah, seperti bertahan tinggal di tepian sungai di hutan, nafkah yang tergantung pada alam/hutan, pola ladang berpindah, tidak menyekolahkan anaknya, serta pola hidup yang belum sehat.
dup  Warga Dayak Punan     
Karena kondisi dan kebiasaannya yang relativ unik itu, maka oleh masyarakat Berau komunitas Dayak Punan ini sering disebut dengan “Orang Basap”.

2. Tatanan Sosial dan Pola Hidup

Kebiasaan  dan Tatanan Sosial

Kelompok Warga Dayak Punan yang pola hidupnya berpindah-pindah di wilayah hutan  sebenarnya merupakan komunitas yang terikat dan bersatu karena adanya ikatan kekerabatan. Dalam masa pengembaraannya, mereka hidup dalam kelompok-kelompok, dimana tiap kelompok terdiri atas beberapa keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan/klan  antara satu dan lainnya. Tiap kelompok biasanya beranggotakan tidak lebih dari 2 sampai 5 keluarga.  Jarang dijumpai   lebih dari jumlah itu  dan jarang pula adanya keluarga lain yang ikut masuk dalam kelompoknya. Kalaupun ada, itu karena menikah dengan salah satu anggota keluarga di kelompok tersebut.  
Apabila ada orang luar akan  menikah dg  salah satu anggota keluarga, akad dan penetapan  nikahnya dilakukan didepan  sesepuh/tetua kelompok tersebut. Tetua/sesepuh selanjutnya bertindak sebagai penghulu yang menyatukan 2 mempelai dalam 1 ikatan perkawinan.

Tetua ini   biasanya juga memutuskan beberapa hal penting dalam kehidupan kelompok, misalnya keputusan untuk berpindah/mengembara kelokasi hutan yang lain, melerai pertikaian, memutuskan lokasi baru, menamai bayi yang baru lahir, dan lain-lain.                    

Dalam pengembaraannya dan ketika menetap untuk mencari hasil hutan ataupun berladang, biasanya tiap kelompok memiliki areal teritorial. Seperti ada peraturan tak tertulis, apabila di suatu wilayah (hutan) telah ada satu kelompok yang tinggal dan mencari sumber kehidupan di areal sekitarnya, maka kelompok lain tidak akan mengganggu atau  ikut mencari nafkah disitu.  Untuk menandai teritorial  dan penguasaan arealnya,  biasanya mereka menanam buah di bekas ladang padinya atau tidak membongkar pondoknya ketika mereka akan berkelana lagi.

Pondok mereka  berukuran kecil ( kurang lebih 3x4 M)  dan sangat sederhana karena  tongkat/ tiang rumah, dinding dan lantai terbuat dari kayu bulat yang diikat dg rotan serta  atapnya dibuat dari anyaman daun rotan. Lokasi pondok mereka hampir dipastikan berdekatan atau berada ditepi sungai.

Berpindahnya suku Dayak Punan kelokasi hutan yang lain biasanya ditandai dengan beberapa sebab dan kejadian, seperti :
  • Ladang Pertanian sudah tidak subur lagi (setelah 2 atau 3 kali musim tanam padi atau jagung).
  • Hutan di sekitar dirasa tidak produktif lagi, ditandai dengan susahnya diperoleh binatang buruan, berkurangnya sarang lebah madu, & susahnya mendapat pancingan ikan.      
  • Adanya wabah penyakit yang menyebabkan meninggalnya salah satu atau beberapa anggota kelompok.
  • Ada pertikaian di lingkungan  internal mereka atau dengan kelompok lain. 
 

b.   Konsumsi dan Pola Pertanian warga Dayak Punan  

Konsumsi warga Dayak Punan  (ketika masih hidup berpindah) cukup beragam, baik yang diperoleh dari hasil berburu atau dibudidayakan sendiri.  Jenis makanan yang dikonsumsi  dan cara memperolehnya    antara lain :
  • Ubi, keladi, jagung, singkong, pisang atau padi/beras yang  ditanam sendiri di ladang berpindah.
  • Umbi-umbian hutan yang diperoleh dari mencari di hutan
  • Buah-buahan hutan yang diperoleh ketika musim buah hutan   (durian, lai, karatungan, Ginalang, Maritam, Kapul, buah bawang, lahung paisan, buah tahu, lembutung, buah kruing, batu jala, keledang, cempedak hutan, dan jenis-jenis kelengkeng seperti mata kucing, mata anjing, dan mata babi, serta banyak lagi jenis buah hutan lainnya).
  • Ikan ikan sungai yang diperoleh dari memancing
  • Binatang buruan (babi, kijang, rusa, pelanduk, monyet, landak, ayam hutan, dll), yang diburu dengan menggunakan sumpit atau jerat.
  • Madu hutan yang diperoleh dari sarang lebah hutan. Kusus untuk madu dikonsumsi sedikit, karena sebagian besar dijual atau barter dengan masyarakat di kampung/kota terdekat untuk mendapatkan/membeli barang kebutuhan lain yang tidak dapat diproduksi sendiri, seperti garam, gula, minyak goreng, dll              
Sedangkan makanan yang diperoleh dari menanam/budiaya sendiri seperti padi, singkong, atau keladi ditanam di ladang berpindah (yang lokasinya dekat pondok) dan dikerjakan dengan proses dan tahapan  sebagai berikut :
  • Tebas, yaitu membuka/menebas hutan dengan membabat semak dan belukar dibawah tegakan pohon hutan dengan parang/Mandau.
  • Tumbang, yaitu menumbang pohon/tegakan hutan menggunakan kampak atau parang/mandau tergantung besar kecilnya pohon.
  • Bakar, yaitu  membakar semak dan rebahan pohon apabila telah kering, biasanya 1 atau 2 bulan setelah tumbang.
  • Tugal, yaitu menanam (benih padi dan jagung) menggunakan tongkat kayu dilahan yang telah selesai dibakar.
  • Untuk jenis umbi-umbian, singkong, pisang dan buah buahan ditanam dengan cara konvensional, yaitu menancapkan bibit (singkong dan ubi rambat) atau menggali lubang terlebih dahulu (keladi dan buah-buahan).
 
Padi yang biasanya ditanam adalah jenis padi gunung yang usia panennya sekitar 6 bulan dan bibitnya diperoleh dari simpanan dari panenan sebelumnya.

Pengolahan tanah serta tanaman tidak dilakukan intensif dan  hanya mengandalkan kesuburan alamiah lahan serta  tidak menggunakan pupuk, baik pada awal tanam, pemeliharaan ataupun menjelang panen. Lahan yang telah diusahakan ini biasanya dapat digunakan sampai 2 atau 3 kali musim tanam.  Setelah itu, dan ketika dirasa lahan sudah tidak subur lagi, maka mereka akan pindah kelokasi lain, seiring dengan proses pengembaraan mereka selanjutnya. 

Walaupun senantiasa berpindah, namun lahan yang telah ditinggal ini secara de facto masih diakui menjadi milik mereka. Bukti untuk kepemilikan  itu adalah ditanamnya beberapa batang pohon buah (misal durian, lai, cempedak, dll), serta tidak dibongkarnya pondok yang telah sdibangun dilokasi tsb.  Suatu saat, kira-kira 3 atau 4 tahun lagi mereka akan kembali ke lahan ini untuk diusahakan lagi. Pada kurun waktu tersebut dianggap lahan ini akan kembali subur lagi karena telah ditumbuhi semak dan rumput. Semak dan rumput ini kemudian akan ditebas  dan   dibakarnya   ketika akan  memulai musim tanam kembali.

c. Agama/Kepercayaan dan Pendidikan

Pada  tahun 70an ketika kelompok ini mengembara ke Berau, sebagian besar telah menganut agama Kristen Protestan. Agama Kristen Protestan ini dianut mereka ketika masih tinggal di Binai dan Sajau, kabupaten Bulungan. Namun, karena pola hidupnya yang senantiasa berpindah dan tinggal di hutan-hutan, maka mereka ini tidak mendapatkan pembinaan keagamaan secara berkelanjutan atau pergi beribadah ke gereja secara rutin.

Dengan kondisi tersebut, maka ada beberapa  nilai-nilai keagamaan dan norma kehidupan bermasyarakat tidak diterapkan secara intensif oleh mereka. Sebagai contoh, longgarnya nilai perkawinan di kalangan mereka (ditandai mudahnya mereka kawin dan cerai), banyaknya perkawinan dibawah umur, ritual perkawinan, kelahiran, atau kematian yang dilakukan apa adanya dan tidak bersifat  kristiani, dan lain-lain.

Dampak dari pola kehidupan dan kebiasaan seperti tersebut diatas juga berpengaruh pada minimnya apresiasi tentang arti pentingnya  pendidikan/sekolah bagi anak-anak mereka. Anak-anak tidak disekolahkan dan dibiarkan mengikuti pola hidup ala mereka, seperti mengembara,  berburu, berladang, mencari madu atau memancing ikan di sungai. Bagi mereka sekolah itu jauh dari hutan dan tidak mungkin dapat dijangkau anak-anaknya, sekolah itu hanya  untuk orang yang hidup di kampung atau kota. Hal lain yang membuat rendahnya motivasi untuk menyekolahkan anaknya adalah anggapan dan kekhawatiran  mereka bahwa kalau anaknya telah  pintar atau tamat sekolah maka akan menikah dengan suku lain, dan akhirnya tidak mau kembali serta  lupa kepada orang tuanya atau kerabatnya dihutan.                     

Padahal, sebenarnya ada beberapa Kepala Keluarga di kelompok ini yang dulunya ketika bermukim di Sajau telah mendapat perhatian pemerintah setempat dan pernah mengenyam bangku sekolah (walau hanya sampai kelas 1 SD).  Namun, karena mengikuti orang tuanya mengembara, maka bangku sekolah ditinggalkannya.  
                                      

d.   Kesehatan 

Karena kondisi pola hidup dan pola pikirnya yang bersahaja, maka aspek kesehatan juga kurang diperhatikan mereka. Mulai dari tempat tinggal sampai dengan kebiasaan sehari-hari mereka dapat dikatakan jauh dari aspek higienis dan kesehatan. 

Rumah/pondok mereka ada yang tanpa dinding sehingga ketika hujan atau cuaca dingin, secara langsung terkena terpaan angin atau hawa dingin. Disisi lain karena lingkungan tempat tinggal di hutan lembab serta kurang sinar matahari, maka menyebabkan banyak diantara mereka terkena penyakit ISPA, seperti batuk, pilek dan lain-lain. Disamping itu, karena nyamuk leluasa masuk ke pondok mereka, maka mereka juga  mudah terkena penyakit malaria. 

Anak-anak yang belum beranjak remaja biasanya kesehariannya jarang mengenakan baju, bahkan beberapa diantaranya tanpa busana sama sekali. Hal ini berhubungan dengan pola bermain mereka yang banyak dihabiskan dengan bermain dan  berenang di sungai.  Kebiasaan bermain seperti ini membuat banyak anak-anak terkena penyakit seperti pilek yang menahun (senantiasa beringus), batuk, eksim kulit, infeksi telinga (congekan), dan lain-lain.

Pola hidup dan kebiasaan yang kurang konsdusif itu diperparah dengan minimnya akses mereka terhadap instansi kesehatan pemerintah. Mereka hampir-hampir tidak pernah berkunjung, memeriksakan kesehatan atau berobat ke puskesmas, mantri, atau bidan di kampung terdekat.   Penyakit yang diderita apabila dirasa belum parah akan dibiarkan begitu saja. Kalaupun agak parah, obat yang digunakan adalah obat-obatan yang banyak dijual di warung/toko yang dibelinya di kampung terdekat.

Pada proses melahirkan anak, biasanya tidak di pondok tempat mereka tinggal, tapi dihutan dan tak terlihat orang lain. Proses melahirkan anak hanya dibantu oleh sang suami dengan perlengkapan dan alat yang  sederhana.

Usai melahirkan, sang suami akan menumbuk segenggam cabai rawit yang dicampur segelas air untuk diminum istrinya yang baru melahirkan. Ramuan ini dipercaya dapat segera memulihkan kondisi sang istri yang baru melahirkan. Proses pemulihan hanya berlangsung 1 hari, karena pada keesokan harinya sang istri telah menggendong bayinya yang baru lahir  dan berjalan untuk mengikuti kegiatan suaminya. 

Dengan pola melahirkan seperti itu, tidak heran sering terjadi kasus kematian yang menimpa  bayi ataupun ibu yang baru melahirkan.  Disamping karena perlakuan dan proses melahirkan yang kurang higienis, para ibu sebelumnya juga tidak pernah mengontrol kondisi kehamilannya kepada instansi kesehatan terdekat.   

3. Program Resetlement (Pemukiman Menetap) di Petung Oleh Pemerintah  

Dengan  kondisi mereka yang masih dianggap “bersahaja” dan dianggap menyandang masalah sosial,  maka pada tahun 1984 pemerintah Berau melalui Departemen sosial (pada saat itu belum Dinas sosial)  melakukan program resettlement/pemukiman menetap kepada komunitas ini.  Jumlah KK yang diresetllement sebanyak 24 KK dan lokasinya adalah di Petung kampung Merancang Ulu kecamatan Gunung Tabur.  Program resettlement di Petung  ini  sebenarnya tidak ditujukan khusus  untuk komunitas Dayak Punan saja, tapi juga warga dari suku lain. Bagi warga dari suku lain, program ini diistilahkan dan disosialisasikan dengan nama   transmigrasi lokal.                             

Salah satu maksud “Pencampuran” berbagai komunitas di Pemukiman  Petung oleh pemerintah ini adalah harapan akan terjadinya proses sosialisasi dan transfer pola pikir serta kebiasaan dari warga lain kepada warga Dayak Punan agar berubah ke arah yang lebih kondusif.   Di pemukiman Petung ini berbagai program pembinaan  dari pemerintahpun diterapkan sama dengan komunitas dari suku lain, yaitu pemberian jatah hidup untuk waktu tertentu, program pertanian intensif, peternakan, dll.

Program resettlement ini ternyata tidak berjalan lama (belum 1 tahun)   karena banyak warga Dayak Punan keluar dari pemukiman di Petung dan kembali lagi tinggal di hutan-hutan. “Exodus” banyak warga Punan ini diikuti oleh warga Punan yang lain, sehingga akhirnya tak satupun diantara mereka bertahan tinggal di Petung.
Ketika ditanyakan mengapa mereka keluar dari Pemukiman Petung, dijawab ada beberapa alasan, antara lain :
  • Ada anggapan dan kecurigaan dari warga Dayak Punan  bahwa program bantuan dan jatah hidup dari pemerintah tidak merata dibagi oleh para pengelolanya.
  • Adanya wabah penyakit sejenis penyakit cacar yang oleh masyarakat setempat disebut penyakit “kerumut”, yang banyak menelan korban jiwa, terutama anak-anak.
  • Sering terjadi perselisihan antara warga Dayak Punan dengan suku lain yang tinggal di pemukiman petung karena perbedaan kebiasaan.
  • Tempat, serta rumah di Petung yang dianggap panas tidak teduh seperti di hutan.
  • Rumah di Petung agak jauh dari sungai, tidak seperti rumah/pondok mereka sebelumnya yang dibuat ditepian sungai.     
  • Lokasi di Petung yang jauh dari sumber nafkah mereka, yaitu sarang lebah madu, sumber kayu gaharu, ladang di hutan,  serta lokasi berburu dan memancing.

Ketika kembali ke hutan, mereka kembali lagi kepada kebiasaan dan pola hidup sebelumnya, yaitu tinggal berpindah-pindah sesuai potensi hutan setempat, membuat rumah/pondok apa adanya, berburu binatang hutan, memancing, mencari madu, dan lain-lain.          

4.  Program Resetlement  di KM 10 Lati oleh Comdev PT. Berau Coal

Sampai dengan awal tahun 2000  komunitas Dayak Punan  masih hidup dengan pola lama, sampai dengan pertemuan mereka dengan comdev PT. Berau Coal yang pada akhirnya berencana membuat program  Pemukiman menetap serta program pendampingan berkelanjutan bagi mereka.   

Di penghujung pengembaraannya itu, Comdev PT Berau Coal mencoba berkomunikasi dengan mereka untuk menyerap aspirasi dan membantu  mencari solusi agar ke depan dapat memperoleh kehidupan yang lebih sejahtera, mandiri, tidak tergantung pada alam/hutan, serta memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik.

Pada saat itu mereka mengeluh bahwa nafkah dan sumber penghidupan dari hutan semakin sulit. Anggapan mereka hutan semakin sulit dan sempit karena terdesak oleh pengusahaan IPK, HTI, Tambang, Perkebunan (masyarakat atau perusahaan), dan lain-lain.

Keluhan itu disamping sebagai masukan  bagi Comdev PT Berau Coal  juga dikomunikasikan ke para stakeholder, baik pemerintah daerah Berau maupun beberapa perusahaan yang ada diseputar Lati, seperti PT. Tanjung Redeb Hutani serta PT Repindo Jaya Sawit Sejati.

Ternyata Pemerintah Daerah menyambut baik dan  sangat antusias.  Selanjutnya mereka memfasilitasi  para pihak untuk duduk bersama membahas program pemberdayaan warga Dayak Punan tersebut. Hasilnya adalah Sharing Kolaborasi  para pihak terkait untuk turut berperan dalam program pemberdayaan bagi warga Dayak Punan tersebut. Langkah awal untuk pemberdayaan adalah  pembuatan pemukiman menetap / resetlement bagi warga Dayak Punan. Asumsinya adalah, dengan menetapnya mereka maka program lainnya yang mengarah pada sasaran akan kesejahteraan dan kemandirian akan relatif lebih efektif,  efisien serta berkelanjutan dapat dilakukan.

Untuk pembuatan pemukiman menetap bagi warga Dayak Punan  kolaborasi para pihak adalah :
  • Pemerintah daerah melalui bupati mengeluarkan rekomendasi untuk areal pemukiman dan kehidupan bagi warga Dayak Punan, yaitu lahan seluas 20 Ha disekitar Sungai Lati .
  • PT. Berau Coal membangun pemukiman dan sarana prasarananya, serta melakukan pendampingan berkelanjutan (Program Comdev) bagi warga Dayak Punan di areal tersebut.
  • PT. Tanjung Redeb Hutani melepaskan areal pengusahaannya (enclave) atas lahan seluas 20 Ha  sesuai rekomendasi Bupati Berau.  Disamping itu, PT. TRH juga turut membantu menyediakan kayu untuk keperluan pembangunan perumahan.
  • Kontribusi PT. Repindo Jaya Sawit Sejati adalah membantu mengoperasionalkan alat beratnya untuk membuat jalan ke lokasi pemukiman serta tapak bangunan.    
  • Warga Dayak Punan turut berpartisipasi bersama PT. Berau Coal membuat rancang bangun rumah, memilih lokasi perumahan, membuka/membersihkan lahan,  mengukur lahan yang akan dibangun pemukiman, serta turut mengawasi proses pembangunan perumahan yang dibangun oleh kontraktor  lokal dari Sambakungan . 

Proses pembangunan perumahan dimulai awal tahun 2001, setelah sebelumnya dilakukan pembuatan rancang bangun perumahan, pengukuran lokasi, pembuatan jalan, serta pembuatan/penyiapan tapak bangunan. Lokasi Perumahan yang dipilih oleh warga Dayak Punan adalah berjarak 1100 Meter dari jalan Logging, oleh sebab itu sebelum dimulai proses pembangunan perumahan, dibuat jalan masuk dulu oleh PT. Repindo Jaya Sawit Sejati . Pembangunan perumahan oleh Comdev PT. BC baru dimulai setelah jalan masuk selesai dibuat.  Awalnya Jumlah  rumah yang dibangun adalah 8 (delapan) unit ditambah beberapa sarana pendukung antara lain listrik tenaga surya untuk tiap rumah, 1 unit bangunan serba guna, serta 1 unit jamban keluarga ditepi sungai lati.

Pada awal September 2001 proses pembangunan rumah beserta sarana prasarananya selesai, dan pada tanggal 18 September 2001 dilaksanakan peresmian pemukiman menetap warga Dayak Punan KM 10 oleh Bupati Berau pada saat itu,  Drs. H. Masdjuni.     Menandai proses peresmian  dilakukan penanaman simbolis tanaman buah oleh Bupati, Wakil Bupati, para pejabat Pemda, DPRD Berau, Presiden Direktur PT. Berau Coal, serta wakil manajemen PT. TRH dan Repindo. Disamping penanaman tanaman buah, peresmian ditandai juga penyalaan pertama lampu rumah yang bersumber daya tenaga surya.

Pada pertengahan tahun 2001 ternyata masih terdapat 5 KK warga Dayak Punan yang ada diwilayah Lati yang belum terakomodir dalam program pemukiman menetap. Karena 5 KK tersebut ingin bermukim menetap dan mau tinggal di komplek pemukiman km 10 lati, maka oleh comdev PT BC  dibuatkan 5 unit rumah lagi dengan ukuran serta dilengkapi juga Listrik Tenaga Surya.

5. Program Pendampingan oleh Comdev PT. Berau Coal   

Pemukiman menetap bagi  warga Dayak Punan di KM 10 yang telah diresmikan pada tahun 2001 merupakan langkah awal atau prasyarat untuk pelaksanaan  program pendampingan selanjutnya yang mengarah pada sasaran kemandirian dan pelepasan ketergantungan pada sumber daya hutan serta kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup mereka.   Dengan menetapnya mereka, diharapkan program yang akan dilaksanakan akan lebih efisien, efektif, serta terarah dari waktu ke waktu.  Hal itu akan sulit dilaksanakan apabila mereka senantiasa berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya.           
     
Untuk mencapai sasaran tersebut,  langkah/strategi pemberdayaan dan pendampingan  adalah  sdebagai berikut :
  • Senantiasa melibatkan para pihak terkait atau stakeholder  untuk perencanaan, pelaksanaan dan kontrol program pendampingan yang akan dilaksanakan.
  • Memprioritaskan aspek pendidikan  bagi anak-anak mereka, terutama yang telah memasuki usia sekolah.
  • Senantiasa menempatkan warga KM 10 sebagai subyek dalam setiap proses dan  pelaksanaan program.
  • Membantu kemudahan akses dengan wilayah luar untuk membuka    keterisolasian.     
  • Memfasilitasi akses mereka dengan para pihak/instansi atau lembaga terkait  yang menjalankan fungsi pelayanan masyarakat.
  • Memantapkan aspek kerohanian dan mental spiritual sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.   
  • Pelatihan-pelatihan yang bersifat informal, khususnya untuk pengembangan ketrampilan dalam bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dll yang bermuara pada adanya perubahan pola pikir serta peningkatan ekonomi.
  • Menjalin dan membangun pola bisnis inkubasi antara mereka dengan perusahaan atau pelaku bisnis yang lain sesuai dengan komoditi yang mampu mereka produksi. Contohnya  menyemai tanaman buah buahan hutan (tanaman eksotis) yang berasal dari hutan, atau tanaman kayu (misal ulin, meranti, kruing, kapur,banggeris dan lain-lain) untuk dijual ke PT. Berau Coal untuk keperluan  revegetasi,  penganekaragaman tanaman, serta pelestarian plasma nutfah pada lahan paska tambang.                  

Program yang dilaksanakan tersebut merupakan prakondisi dan sebagai titik masuk (entry point) untuk program lanjutan yang dilaksanakan kemudian secara berkelanjutan.

Sebagai contoh :
Pada awalnya para orang tua belum memahami arti penting kemampuan baca tulis dan  pendidikan,  khususnya pendidikan formal untuk anak-anak.  Bagi mereka baca tulis tidak penting dan tidak perlu karena mereka hidup di lingkungan hutan. Disisi lain, bagi mereka  pendidikan formal anak-anak akan membuat mereka terserabut, tidak mau kembali lagi dan melupakan orang tua bila sang anak telah pintar/lulus sekolah. Pemahaman dan pola pikir seperti itu kemudian disentuh untuk dirubah melalui penjelasan/ceramah pendeta  pada kegiatan  kebaktian/ibadah tiap bulannya. Selang 1 tahun, akhirnya para orang tua terbuka pikirannya & mengerti arti penting baca tulis ataupun pendidikan bagi anak-anaknya. Beberapa anak mereka kemudian mau disekolahkan di kampung Sambakungan dan tinggal di rumah guru. Perlu dijelaskan bahwa pada saat kebaktian usai yang dilaksanakan tiap bulannya, acara dilanjutkan dengan pembagian PMT serta pengenalan baca tulis  yang diikuti anak anak maupun orang tuanya.

Pemberian sarana transporasi dimaksudkan untuk sarana mobilitas mereka  dan agar sewaktu-waktu mereka dapat pergi ke kampung atau wilayah lain untuk keperluan menjual komoditas mereka (madu, gaharu, buah buahan atau hasil pertanian lainnya) ataupun keperluan lain seperti menggiling padi, membeli keperluan hidup, berobat, dan lain-lain. Harapan selanjutnya dan kedepannya adalah agar mereka dapat lebih intens mengadakan kontak & komunikasi dengan orang luar agar cakrawala berpikirnya dapat lebih luas. 


Pemberian Sarana Produksi Pertanian, perkebunan & peternakan serta penunjangnya, sasaran awalnya dimaksudkan untuk membangkitkan semangat & motivasi  mereka untuk bertani & berkebun mengusahakan   lahan pertanian/kebunnya atau beternak.  Dalam pengelolaan lahan pertaniannya atau beternak, mereka dibiarkan sesuai dengan pola yang selama ini dilakukan tanpa intervensi teknologi dari luar. Selanjutnya, ketika mereka telah memperoleh hasil, baru kemudian ditawarkan teknologi/pola baru dengan mendatangkan praktisi pertanian, perkebunan atau peternakan  untuk menjelaskan, bahkan praktek langsung  bersama mereka. Dengan hasil panen yang berbeda, tentunya mereka akan tertarik menerapkan pola atau teknologi baru yang ditawarkan.  Program selanjutnya adalah mengajak mereka untuk merencanakan dan mengatur program pertanian berkelanjutan dengan melibatkan instansi terkait. Strategi ini juga diharapkan untuk mengurangi ketergantungan nafkah dan penghidupan dari hutan serta pola ladang berpindah.   

Upaya memfasilitasi pihak terkait dan para stakeholder untuk bertemu dan sharing dengan warga KAT KM 10 Lati dimaksudkan agar mereka juga dapat  tersentuh program pemerintah serta memiliki akses langsung kepada pihak terkait dalam mendapatkan kebijakan dan program yang bersifat pelayanan maupun pemberdayaan  secara berkesinambungan. Disamping itu, melalui upaya fasilitasi tersebut dapat dimungkinkan terjadinya kolaborasi program atau sinergi multi pihak untuk pemberdayaan warga KAT KM 10 Lati, termasuk mengajak peran aktif warga KAT KM 10 Lati dalam merencanakan, melaksanakan dan mengontrol program secara bersama-sama. Apabila Comdev PT. Berau Coal tidak berperan sebagai satusatunya aktor pemberdayaan, maka ketergantungan warga KAT KM 10 Lati kepada PT. Berau Coal akan dapat dihindari.


Pembinaan kerohanian secara rutin oleh pihak gereja diharapkan dapat menyentuh hati warga KAT KM 10 Lati agar dapat memahami, melaksanakan dan mematuhi norma-norma keagamaan dan kemasyarakatan. Hal ini menjadi titik masuk untuk menyadarkan dan mengajak mereka  menjalani kehidupan serta menyongsong masa depan yang lebih baik lagi.
Menumbuhkan pola bisnis inkubasi antara warga Dayak Punan dengan pihak PT. Berau Coal. Dalam kegiatan ini ada beberapa komoditi dan kegiatan produksi  yang diusahakan dan difasilitasi untuk dipasarkan oleh Comdev PT. Berau Coal, misalnya madu, tas anyaman rotan, bibit tanaman kayu (meranti, ulin, kapur, kruing, banggeris, dan lain-lain), serta bibit tanaman buah-buahan hutan (Maritam, Lembutung, Bawang, Kapul, Batu Jala, dan lain-lain). Madu dan tas anyaman rotan oleh  Comdev dipasarkan ke karyawan perusahaan, sedangkan bibit kayu dan buah hutan ke Environment Dept. untuk tanaman reklamasi tambang. Pola bisnis ini diupayakan untuk mengenalkan mereka dengan pasar dan segenap aspeknya, walaupun proses dan sifatnya masih dibantu, dilindungi,dan difasilitasi.  Harapannya apabila mereka telah tahu prosesnya, maka selanjutnya transaksinya akan dilakukan sendiri dan langsung oleh mereka dengan pihak pembeli. 

Sekolah untuk masa depan
Vitamin dan imunisasi


Suatu hari menuju ke KAT Dayak Punan Lati

Suasana hangat....